Aren Indonesia

Peneliti Aren

Dr. Ir. Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib, M.Si, Doktor Anau dari Pagaruyung

Sumber: http://gula-aren.blogspot.com/2009/03/doktor-anau-dari-pagaruyung.html

raudah thaib

Enau atau anau (aren) membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak. Sementara petani, untuk menambah jumlah tanaman enau, masih menggunakan cara alami: menanam bijinya. Padahal, biji enau memiliki masa tidur (dorman) sampai setahun.

Hal itulah yang membuat Raudha Thaib sebagai ilmuwan penasaram, kemudian termotivasi untuk menemukan cara lain, yakni, bagaimana mengurangi masa tidur dan jumlah tanaman baru yang dihasilkan tak hanya satu batang.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas ini pun tersenyum. “Alhamdulillah, untuk langkah awal saya berhasil dan dari situ pulalah saya bangga menyandang gelar doktor dengan bidang telitian dan temuan yang terbilang langka,” kata penulis buku Seri Alam Minangkabau “Nik Reno jo Cucunyo” berbinar.

Menurutnya, tanaman enau bisa dikembangbiakan secara buatan, baik rekayasa genetika atau kultur jaringan. Hal itu, karena Upik, menemukan cara untuk menghilangkan senyawa fenolik yang membuat biji enau berada dalam masa tidur yang lama. Upik menerangkan dengan jabaran ilmiah, hal itu dalam disertasi doktoral berjudul Regenerasi In Vitro Tanaman Enau (Arenge pinnata Merr.) melalui Embriogenesisi Somatik. Dengan ditemukan teknik tersebut, pengembangbiakan enau bisa dilakukan lebih cepat lagi.

Temuan Upik menghasilkan, masa dorman enau bisa dikurangi sampai 141,07 hari. Sementara itu, jumlah tanaman baru yang dihasilkan, tak lagi satu batang sebagaimana selama ini pola alami. Tetapi bisa mencapai 6-21 batang. “Temuan saya ini sebuah langkah awal, dan dalam waktu dekat belum bisa diaplikasikan oleh petani,” kata Upik, yang meraih doktor di usia 60 tahun ini menambahkan, kerja ilmuwan sesungguhnya mencari formula yang memudahkan petani/orang lain memanfaatkannya.

Upik mengenal enau- dan tentu paham akhirnya—dari lingkungan masa kecilnya di Istana Pagaruyung Batusangkar. Yang menarik bagi Upik, baik dari ilmu pertanian, sosial dan budaya, hampir seluruh bagian dari enau, bisa bermanfaat bagi masyarakat. Ijuknya untuk atap rumah, niranya untuk gula aren atau cemilan gula-gula, daunnya yang telah dibuang lapisan lilinnya untuk pembungkus rokok.

“Banyak sekali manfaat anau ini,” tukas upik, dan, ia menambahkan, ijuknya digunakan sebagai atap, seperti rumah gadang atau Istana Pagaruyung yang terbakar Februari 2007, berfungsi untuk menahan hawa panas dari luar. Efeknya, hawa sejuk dari dalam yang ditawarkan ijuk tersebut.

Mantan atlit PON V dari Sumbar ini tertarik dengan enau, karena menurut pencermatannya, enau bagi masyarakat Minang, tidak semata tanaman yang memberi pemasukan secara ekonomi. Tetapi, enau juga merupakan tumbuhan konservasi. Tumbuhan seperti ini tidak boleh ditebang sembarangan. Hukum adat di Minangkabau, ditegaskan Upik, melindungi tumbuhan yang ada di hutan.

“Bicara soal kenservasi, sesungguhnya dibutuhkan kearifan lokal. Ternyata saat ini, kearifan lokal itu pula yang mulai runtuh,” kata Upik risau. Keturanan ke-13 Raja Pagaruyung ini menjelaskan, kearifan lokal memiliki kekuatan sosial dan kultural semestinya, termasuk melindungi hutan. Sayang, banyak yang mengabaikan nilai kearifan lokal, hutan ditebang liar oleh mereka dengan kekuatan uang, hingga bencana datang pun kita tak arif apa penyebabnya.

Dalam enau, kata salah seorang dewan pakar Gebu Minang ini, tersirat nilai pelestarian lingkungan yang penting dianut masyarakat. Untuk tanaman enau ini misalnya, bisa hidup pada kemiringan tanah sampai 20 derajat, serta sebaran akar serabutnya hingga 10 meter dengan kedalaman tiga meter.

Upik berharap, penelitiannya ini bisa memberi sumbangan positif bagi perkembangan ilmu dan teknologi budidaya tanaman enau. Setidaknya merupakan informasi dan acuan dalam melakukan perbanyakan dan perbaikan tanaman enau melalui embriogenesis somatik dapat menghasilkan bibit enau berkualitas tinggi, mempunyai kemampuan adaptasi dengan lingkungan, dalam jumlah yang banyak dan waktu yang relatif singkat. (Yusrizal KW)

SUTRISNO, KOLANG-KALING, DAN MUSANG

Sumber: Kompas (27/07/2006, 09:27:23)

Apabila penyebaran tanaman aren (Arenga pinnata) hanya mengandalkan alam saja, penggemar kolang-kaling atau buah muda aren untuk dijadikan kolak, manisan, campuran es, sampai bahan campuran bajigur lambat laun bakal kesulitan mendapatkan buah berdaging kenyal itu. Demikian pula pembuat gula aren dan pembuat sagu aren akan kesulitan mendapat bahan baku.

Jumlah pohon aren di alam memang semakin berkurang karena banyak pohon sudah tua dan tidak produktif lagi, sedangkan upaya peremajaan belum maksimal. Sementara itu, eksploitasi pohon aren untuk diambil tepung sagunya justru semakin meluas.

“Selama ini penyebaran aren dilakukan musang. Baru tahun 1990-an, staf peneliti Kebun Raya Bogor mulai menggagas perbanyakan aren. Kini kami mampu mulai mengambil alih peran musang dan saat ini menunggu produksi perdana pohon aren hasil semaian yang kami lakukan, kata Kepala Subbidang Reintroduksi Tumbuhan Langka pada Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (PKT-KRB) Ir Sutrisno.

Menurut Koordinator Pengembangan Budidaya Tanaman Aren di Kabupaten Sumedang tahun 1999-2003 ini, pohon aren mulai berproduksi sekitar 10 tahun, sedangkan semaian tim di daerah Sumedang baru berusia sekitar lima tahun.

Musang, yang dikenal sebagai binatang malam, besar perannya dalam mengembangkan tanaman aren. Binatang yang paling diburu warga kampung ini paling suka memakan buah aren masak berwarna kuning kecoklatan yang jatuh dari pohon. Buah mudanya, yakni kolang-kaling, dimakan oleh pemburu musang.

Biji buah aren yang tidak hancur kemudian terbawa keluar bersama kotoran musang. Biji itu lalu mudah berkecambah dan tumbuh liar menjadi tanaman aren yang potensial secara ekonomi karena hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan, mulai dari akar, batang, daun, nira, buah, dan ijuk.

Sejak tahun 1990-an, sejumlah peneliti di KRB ada yang mencoba mengambil alih peran musang. Adalah Ir Holif Imamudin (kini Kepala Kebun Raya Cibodas, Pacet, Kabupaten Cianjur) yang menjadi penggagas kegiatan, disusul Darwandi yang merintis pengembangan budidaya aren di daerah Sumedang yang merupakan salah satu sentra tumbuhan aren di Jawa Barat.

Kemudian Sutrisno ditunjuk sebagai Koordinator Pengembangan Budidaya Tanaman Aren di Kabupaten Sumedang. Sutrisno bersama Holif Imamudin dan Darwandi pada tahun 1999 mulai mengembangkan aren dengan biji, bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sumedang.

Hasil lebih baik

Sutrisno, kelahiran Gunung Kidul, Yogyakarta, tahun 1962, menyelesaikan studinya di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB) tahun 1986 dan menyelesaikan studi S2-nya tahun 2002 di IPB. Sejak tahun 1999 sampai 2003, Sutrisno bersama teman-temannya telah menyemaikan 60.000 bibit aren di daerah Sumedang.

Sutrisno mengutarakan, perbanyakan aren melalui biji sebelumnya pernah dilakukan oleh pihak kehutanan dan lembaga swadaya masyarakat. “Sayang, hasilnya belum memuaskan. Kadang hasilnya bagus dan kadang jelek, konsistensi hasilnya kurang,” ungkapnya.

Dari hasil penelitiannya, biji yang disemai dari biji jatuhan hasilnya kurang baik. Tim kemudian mengambil biji berkualitas yang masih di atas pohon dengan cara memangkas tandan buah, lalu dipilih buah yang masak. Dari satu tandan yang berisi 300-500 buah, hanya dipilih sekitar 75 persen yang bagus.

“Musang,” demikian Sutrisno, “paling banyak memakan buah aren sekitar 10-15 buah setiap kali makan.”

Namun, sejauh ini belum diketahui kecepatan tumbuh penyemaian antara yang dilakukan oleh musang dan oleh para peneliti KRB di Sumedang. Ini karena belum diperoleh data akurat hasil “penyemaian” yang dilakukan musang sejak dikeluarkan sebagai kotoran sampai menjadi biji berkecambah.

Meskipun demikian, kualitas penyemaian aren yang dilakukan musang dapat diimbangi Sutrisno dan kawan-kawan, bahkan dapat diungguli. Dari segi jumlah penyemaian, aren musang dapat dipastikan tak bisa menandingi Sutrisno dan kawan-kawan sebab penyemaian yang dilakukan Sutrisno dan kawan-kawan jumlahnya bisa sampai 15.000 setahun. Bahkan, para peneliti KRB telah menemukan teknik perkecambahan biji aren yang mudah dan murah.

Dari Sumedang, proyek penyemaian dilanjutkan ke Tasikmalaya. Di daerah ini telah disemai 12.000-an bibit aren. Sementara itu, untuk menghapus anggapan tentang sulitnya budidaya aren, sejak tahun 2003 KRB telah menerbitkan buku yang disusun oleh Sutrisno, Mujahidin, Dian Latifah, Tri Handayani, dan Izu Andri Fijridianto.

Buku ini berisi petunjuk praktis budidaya aren, manfaat produk aren, teknik pemanenan hasil, penanganan pascapanen, dan analisis usahanya.

Nira Aren Antarkan Dua Sahabat Karib Juara

Sumber: Media Indonesia, Selasa,19 Agustus 2008 http://narmada.blogdetik.com/2008/08/

SENYUM dua sahabat dengan latar belakang agama berbeda itu mengembang. Keduanya memegang erat piagam dan styrofoam berbentuk segi empat. Pada styrofoam itu bertulis huruf besar dan kentara ‘Juara Satu Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 2008 Tingkat SMP’. Kedua pelajar itu pun berhak mendapatkan uang sebesar Rp8 juta.

Kedua sahabat karib yang baru menerima gelar juara LPIR di Jakarta, Minggu (17/8), itu tak lain Muhammad Lufti Hernandi dan Gregorius Gora Irianto. Dua remaja itu adalah pelajar kelas IX SMP Buin Batu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Karya ilmiah yang mengantarkan dua pelajar SMP asal NTB meraih juara LPIR 2008 bertajuk Teknik Optimalisasi Produksi Bioethanol Berbahan Baku Nira Aren. “Kami tidak menyangka bisa menjadi juara satu untuk kategori ilmu pengetahuan alam (IPA) tingkat SMP,” kata Gora, panggilan Gregorius Gora Irianto.

Padahal Gora menilai persiapan mengikuti LPIR 2008 sangat singkat. Bahkan ia dan Lufti sempat berganti beberapa kali ide sebelum akhirnya memutuskan tema bioetanol. Sahabat karibnya, Lufti, mengatakan prestasi LPIR 2008 mendorong mereka untuk lebih bersemangat meneliti.

“Saya ingin hasil penelitian kami ini benar-benar bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu masyarakat yang semakin kesulitan memperoleh bahan bakar,” ucap Lufti.

Apa latar belakang memilih penelitian produksi bioetanol dari tanaman nira? Gora dan Lufti mengaku ingin membantu masyarakat. Pasalnya, kini masyarakat semakin sulit mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Kendati BBM tersedia, harganya sangat tinggi dan jauh di atas harga yang ditetapkan pemerintah.

“Lalu kami berpikir harusnya ada sumber energi lain yang lain bisa dikembangkan untuk menggantikan bahan bakar fosil. Karena itu, kami mengambil bahan bioetanol. Namun, bioetanol juga masih memiliki banyak masalah sebab bahan yang digunakan adalah bahan pangan seperti jagung dan gandum,” jelas Lufti.

Gandum dan jagung memang bisa jadi sumber bioetanol. Namun, kedua bahan pangan itu masih merupakan makanan pokok sebagian masyarakat. Bila dipaksakan menjadi sumber energi alternatif, bisa jadi ketersediaan gandum dan jagung terganggu. “Akhirnya akan berdampak pada ketahanan pangan,” katanya.

Selanjutnya dengan dibantu guru IPA, Gora dan Lutfi kemudian mencoba memanfaatkan bahan baku nira aren yang banyak tumbuh di daerah Sumbawa dan NTB untuk dijadikan bioetanol. Tanaman aren juga banyak tumbuh Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bahkan masyarakat NTT sering menggunakan nira aren yang difermentasi sebagai minuman keras. Tetapi belakangan, masyarakat sudah memanfaatkan nira aren untuk dijadikan bahan alkohol untuk kepentingan medis. “Masyarakat selama ini menjadikan nira aren untuk membuat gula,” kata Lufti.

Gora dan Lufti pun mengamati para petani nira yang membuat gula. Petani membuat gula dengan cara memberi campuran bahan akar daun yang banyak tumbuh di daerah. Dua sahabat itu pun berpikir bahwa pemanfaatan nira yang dicampur bahan kimia (bintangor) akan bisa meningkatkan nilai ekonomis. Yang lebih penting, nira aren dapat dijadikan sebagai sumber bahan bakar.(Ant/H-2)

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.